Jumat, 09 April 2010

Halusinasi

BAB I
HALUSINASI
A.Pengertian
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998).
Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar/terbangun. (Maramis, hal 119).
Halusinasi yaitu gangguan persepsi (proses penyerapan) pada panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar pada pasien dalam keadaan sadar.
B.Jenis-jenis halusinasi
Menurut Suart (2007) halusinasi terdiri dari tujuh jenis:
a.Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.
b.Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
c.Penciuman
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
d.Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
e.Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
f.Cenestetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau pembentukan urine.
g.Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

C.Penyebab
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:

Faktor Prediposisi
1).Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
a). Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b). Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c). Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2).Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3). Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.

Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1). Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2). Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3). Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

D.Gejala Halusinasi
Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
• Bicara sendiri.
• Senyum sendiri.
• Ketawa sendiri.
• Menggerakkan bibir tanpa suara.
• Pergerakan mata yang cepat
• Respon verbal yang lambat
• Menarik diri dari orang lain.
• Berusaha untuk menghindari orang lain.
• Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
• Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
• Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
• Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
• Sulit berhubungan dengan orang lain.
• Ekspresi muka tegang.
• Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
• Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
• Tampak tremor dan berkeringat.
• Perilaku panik.
• Agitasi dan kataton.
• Curiga dan bermusuhan.
• Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
• Ketakutan.
• Tidak dapat mengurus diri.
• Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Nasution (2003), seseorang yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:
• Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
• Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
• Gerakan mata abnormal.
• Respon verbal yang lambat.
• Diam.
• Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
• Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya
• peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah.
• Penyempitan kemampuan konsenstrasi.
• Dipenuhi dengan pengalaman sensori.
• Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
• Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada menolaknya.
• Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.
• Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.
• Berkeringat banyak.
• Tremor.
• Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
• Perilaku menyerang teror seperti panik.
• Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
• Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan agitasi.
• Menarik diri atau katatonik.
• Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks.
• Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.

E.Tahap Halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
1. Fase I : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
2. Fase II : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
3. Fase III : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
4. Fase IV : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

F.Hal-hal yang dilakukan
1.Bina hubungan saling percaya dengan klien dengan menggunakan/ komunikasi terapeutik yaitu sapa klien dengan ramah, baik secara verbal maupun non verbal, perkenalkan nama perawat, tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan menepati janji, bersikap empati dan menerima klien apa adanya.
2. Adakan kontak sering dan singkat agar menghindari waktu kosong yang dapat menyebabkan timbulnya halusinasi.
3. Dorong klien mengungkapkan perasaannya agar kita dapatmengetahui masalah yang dialami oleh kl ien.
4. Dorong klien untuk berhubungan dengan orang lain agar mencegah timbulnya halusinasi.












BAB II
PERILAKU KEKERASAN
A.Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Tanda dan gejala
• Muka merah
• Pandangan tajam
• Otot tegang
• Nada suara tinggi
• Berde

B.Proses terjadinya masalah
Perilaku kekerasan/amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan ketergantungan pada orang lain.
Pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya perubahan sensori persepsi berupa halusinasi, baik dengar, visual maupun lainnya. Klien merasa diperintah oleh suara-suara atau bayangan yang dilihatnya untuk melakukan kekerasan atau klien merasa marah terhadap suara-suara atau bayangan yang mengejeknya.
Faktor presipitasi bisa bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.

C. Penyebab perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Tanda dan gejala :
• Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
• Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
• Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
• Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
• Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
(Budiana Keliat, 1999)

D. Akibat dari Perilaku kekerasan
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan Gejala :
• Memperlihatkan permusuhan
• Mendekati orang lain dengan ancaman
• Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
• Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
• Mempunyai rencana untuk melukai

E.Tindakan yang dapat dilakukan
• Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu
dipertimbangkan agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Mengucapkan salam terapeutik
2. Berjabat tangan
4. Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien
5.Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu.
6.Diskusikan bersama pasien tanda dan gejala perilaku kekerasan
7. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
8.Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis
9. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
10.Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
11. Diskusikan bersama pasien jenis dari perilaku kekerasan yang bisa dilakukannya.
12Diskusikan bersama pasien akibat dari perilaku kekerasan yang telah dilakukannya.
13.Diskusikan bersama pasien cara-cara yang dapat dilakukan untuk mencegah/mengontrol perilaku kekerasan, secara fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psiko farmaka
14.Demonstrasikan bagaimana cara-cara yang dapat digunakan untuk mencegah/mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psiko farmaka









BAB III
MENARIK DIRI
A.Pengertian
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).
Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak ( Carpenito, 1998 )
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Towsend,1998)
B.Faktor yang mempengaruhi menarik diri
• Predisposisi
Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predispoisi terjadinya perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Keadaan menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, kegiatan sehari-hari hampir terabaikan.
Gejala Klinis :
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
Menghindar dari orang lain (menyendiri)
Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
• Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap
Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
• stressor presipitasi

C. . TANDA DAN GEJALA
Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan (data objektif) :
1. Apatis, ekspresi, afek tumpul.
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri) klien tampak memisahkan diri dari orang lain.
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat.
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
5. Berdiam diri di kamar/tempat berpisah – klien kurang mobilitasnya.
6. Menolak hubungan dengan orang lain – klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
8. Posisi janin pada saat tidur.
Data subjektif sukar didapat jika klien menolak berkomunikasi, beberapa data subjektif adalah menjawab dengan singkat kata-kata “tidak”, “ya”, “tidak tahu”.

D.Penyebab dari Menarik Diri
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Gejala Klinis
• Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
• Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
• Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
• Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
• Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
( Budi Anna Keliat, 1999).

E. Karakteristik perilaku
• Gangguan pola makan : tidak nafsu makan atau makan berlebihan.
• Berat badan menurun atau meningkat secara drastis.
• Kemunduran secara fisik.
• Tidur berlebihan.
• Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.
• Banyak tidur siang.
• Kurang bergairah.
• Tidak memperdulikan lingkungan.
• Kegiatan menurun.
• Immobilisasai.
• Mondar-mandir (sikap mematung, melakukan gerakan berulang).
• Keinginan seksual menurun.

F.Akibat dari Menarik Diri
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakita adanya terjadinya resiko perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang maladaptive, dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/ rangsangan eksternal.
Gejala Klinis :
• bicara, senyum dan tertawa sendiri
• menarik diri dan menghindar dari orang lain
• tidak dapat membedakan tidak nyata dan nyata
• tidak dapat memusatkan perhatian
• curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), takut
• ekspresi muka tegang, mudah tersinggung
(Budi Anna Keliat, 1999).

G.Proses Terjadinya Masalah
Menarik diri dipengaruhi oleh faktor perkembangan dan sosial budaya. Faktor perkembangan yang terjadi adalah kegagalan individu sehingga terjadi tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis putus asa terhadap hubungan dengan orang lain dan gangguan konsep diri, dimana klien merasa dirinya
Tak berharga.
Menarik diri bisa juga disebabkan oleh; perceraian, putus hubungan, peran keluarga yang tidak jelas, orang tua pecandu alkohol dan penganiayaan anak.
Resiko dari perilaku menarik diri adalah terjadinya perubahan sensori persepsi (halusinasi). Manifestasi klinik pada klien dengan menarik diri adalah apatis, ekpresi sedih, afek tumpul, menyendiri, banyak diam diri di kamar, menunduk, menolak hubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang posisi tidur seperti janin .



















BAB IV
HARGA DIRI RENDAH
A.Pengertian
Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan ( Townsend, 1998 ).
Menurut Schult & Videbeck ( 1998 ), gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang terhadap diiri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung
Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan. (Budi Ana Keliat, 1999).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perasaan negatif terhadap diri sendiri yang dapat diekspresikan secara langsung dan tak langsung.

B.Tanda dan gejala
• Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
• Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
• Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
• Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
• Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

C. Penyebab dari harga diri rendah
Salah satu penyebab dari harga diri rendah yaitu berduka disfungsional. Berduka disfungsional merupakan pemanjangan atau tidak sukses dalam menggunakan respon intelektual dan emosional oleh individu dalam melalui proses modifikasi konsep diri berdasarkan persepsi kehilangan.
Tanda dan gejala :
o Rasa bersalah
o Adanya penolakan
o Marah, sedih dan menangis
o Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas
o Mengungkapkan tidak berdaya

D. Akibat dari harga diri rendah
Harga diri rendah dapat beresiko terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).
Tanda dan gejala :
 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
 Menghindar dari orang lain (menyendiri)
 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap
 Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari.

E. Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1: Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi gangguan konsep diri : harga diri rendah/klien akan meningkat harga dirinya.
2. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
3. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
4. Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Tindakan :
1. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan memberi pujian yang realistis
3. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

3. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Tindakan :
1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah

4. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan
4.2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
4.3. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan

5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
5.1. Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien
5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah


5. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien.
2. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
4. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.




















BAB V
PERSONAL HYGIENE
A.Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2000).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000 )

B. Jenis–Jenis Perawatan Diri
1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi/kebersihan
diri.
2. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan.
4. Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah : 2004, 79 ).



C. Etiologi
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000) Penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai berikut :
1. Kelelahan fisik
2. Penurunan kesadaran
Menurut Dep Kes (2000: 20), penyebab kurang perawatan diri adalah :
1. Faktor prediposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
2. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
6. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene.
1. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
2. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

D. Tanda dan Gejala
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
a) Fisik
• Badan bau, pakaian kotor.
• Rambut dan kulit kotor.
• Kuku panjang dan kotor
• Gigi kotor disertai mulut bau
• penampilan tidak rapi
b) Psikologis
• Malas, tidak ada inisiatif.
• Menarik diri, isolasi diri.
• Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c) Sosial
• Interaksi kurang.
• Kegiatan kurang
• Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
• Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
Data yang biasa ditemukan dalam deficit perawatan diri adalah :
1. Data subyektif
a. Pasien merasa lemah
b. Malas untuk beraktivitas
c. Merasa tidak berdaya.
2. Data obyektif
a. Rambut kotor, acak – acakan
b. Badan dan pakaian kotor dan bau
c. Mulut dan gigi bau.
d. Kulit kusam dan kotor
e. Kuku panjang dan tidak terawatt

E. Mekanisme Koping
a. Regresi
b. Penyangkalan
c. Isolasi diri, menarik diri
d. Intelektualisasi
F. Rentang Respon Kognitif
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat diri sendiri adalah :
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a) Bina hubungan saling percaya.
b) Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
c) Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
a) Bantu klien merawat diri
b) Ajarkan ketrampilan secara bertahap
c) Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya, kamar mandi yang dekat dan tertutup.
G. Pohon Masalah
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Isolasi sosial
Defisit perawatan diri : mandi, toileting, makan, berhias.

H..Tindakan yang dilakukan
a. Motivasi klien untuk mandi.
b. Beri kesempatan untuk mandi, beri kesempatan klien untuk mendemonstrasikan cara memelihara kebersihan diri yang benar.
c. Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari.
d. Kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut.
e. Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan kebersihan diri,f.Monitor klien dalam melakukan kebersihan diri secara teratur, ingatkan untuk mencuci rambut, menyisir, gosok gigi, ganti baju dan pakai sandal.

Rencana Askep Dirumuskan Dengan Tepat

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi. Secara tradisional, rencana keperawatan diartikan sebagai suatu dokumen tulisan tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan dan intervensi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, rencana keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan keperawatan kepada klien. Setiap klien yang memerlukan asuhan keperawatan perlu suatu perencanaan yang baik. Misalnya, semua klien pasca operasi memerlukan suatu pengamatan tentang pengelolaan cairan dan nyeri. Sehingga semua tindakan keperawatan harus distandarisasi. Standar tindakan tersebut dapat dibaca di SAK (Standar Asuhan Keperawatan) atau SOP (Standar Operasional) dari Depkes R.I (1995).
Rencana tindakan adalah spesifik intervesi untuk membantu klien dalam mencapai criteria hasil. Rencana tindakan dilaksanakan berdasarkaan komponen penyebab dari diagnosa keperawatan. Oleh karena, itu rencana mendefinisikan suatu aktifitas yang diperlukan untuk membatasi factor-faktor pendukung terhadap suatu permasalahan.
Perencanaan adalah salah satu tahap dari proses keperawatan termasuk menentukan prioritas, menentukan metode yang digunakan untuk penyelesaian masalah. Tujuan dari perencanaan, menyusun rencana keperawatan yang dapat digunakan dalam masalah, actual, resiko atau kemungkinan reaksi manusia terhadap masalah kesehatan. Perencanaan pengkajian, diagnose keperawatan dan menetapkan alasan untuk masalah klien, dari data pengkajian dan diagnose keperawatan. Ini adalah langkah penghubung diantara diagnose dan intervensi perencanaan keperawatan. Dituliskan sedemikian rupa sehingga perawat dapat memilih dan memprioritaskan masalah yang berpengaruh terhadap peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan. Data ini didapat dari keluhan klien yang menggambarkan intervensi keperawatan terhadap pengobatan suatu penyakit. Dalam perencanaan keperawatan sehari-hari digunakan pendekatan pemecahan masalah yang akurat secara konsisten.

B. Tujuan
• Tujuan Umun
1. Sebagai alat komunikasi antara anggota perawatan dan antar tim kesehatan lainnya
2. Untuk meningkatkan kesinambungan asuhan keperawatan terhadap klien
3. Mendokumentasikan proses dan hasil asuhan keperawatan yang akan dicapai.
• Tujuan Administrative
1. Mengidentifikasi keperawatan kepada klien atau kelompok
2. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi kesehatan lainnya
3. Menyediakan suatu kriteria guna pengulangan dan evaluasi keperawatan
4. Menyediakan kriteria klasifikasi klien.
• Tujuan Klinik
1. Menyediakan suatu pedoman dalam penulisan
2. Mengomunikasikan dengan staf perawat, apa yang diajarkan, apa yang diobservasi dan apa yang dilaksanakan
3. Menyediakan kriteria hasil (outcomes) sebagai pengulangan dan evaluasi keperawatan
4. Rencana tindakan yang spesifik secara langsung bagi individu, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya untuk melaksanakan tindakan.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Rencana asuhan keperawatan merupakan mata rantai antara penetapan kebutuhan klien dan pelaksanaan tindakan keperawatan. Rencana asuhan keperawatan adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat mengenai rencana tindakan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosis keperawatan
Rencana tindakan adalah spesifik intervesi untuk membantu klien dalam mencapai criteria hasil. Rencana tindakan dilaksanakan berdasarkaan komponen penyebab dari diagnosa keperawatan. Oleh karena, itu rencana mendefinisikan suatu aktifitas yang diperlukan untuk membatasi factor-faktor pendukung terhadap suatu permasalahan.
B. Manfaat Rencana Asuhan Keperawatan
1. Sebagai penghubung kebutuhan klien
2. Untuk menjelaskan intervensi keperawatan yang harus dilaksanakan
3. Untuk meningkatkan praktik keperawatan, sehingga mendapatkan pengertian yang lebih jelas tentang prinsip proses keperawatan
4. Menjadi dasar pendekatan yang sistematis terhadap asuhan keperawatan.
C. Langkah-Langkah Membuat Rencana Asuhan Keperawatan
1. Menetapkan urutan prioritas diagnosis keperawatan
2. Menentukan tujuan asuhan keperawatan
3. Menentukan rencana intervensi keperawatan
4. Menuliskan rencana asuhan keperawatan

D. Merumuskan Tujuan
1. Berdasarkan masalah/diagnosis keperawatan yang telah dirumuskan
2. Merupakan hasil akhir yang ingin dicapai
3. Harus objektif atau merupaan tujuan operasional langsung dari kedua belah pihak (klien-perawat)
4. Tujuan perawatan hendaknya sejalan dengan tujuan klien
5. Mencakup tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang
6. Mencakup kriteria keberhasilan sebagai dasar evaluasi
7. Menjadi pedoman dari perencanaan tindakan keperawatan.
Suatu pernyataan tujuan pertama-tama diperlukan agar perawat tahu secara khusus apa yang perawat harapkan untuk dicapai bersama-sama dengan klien. Tanpa suatu pernyataan tujuan yang jelas, perawat tidak mengetahui apakah akhir yang diinginkan telah tercapai. Suatu pernyataan tujuan yang jelas, akan menunjukkan hasil dari tindakan keperawatan dan batas waktu yang dibutuhkan. Terdapat dua kategori tujuan, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka panjang adalah hasil yang dalam pencapaiannya memerlukan waktu lebih lama. Tujuan jangka pendek tepat digunakan untuk keadaan emergensi dimana kondisi klien tidak stabil. Contoh tujuan jangka pendek :
1. Frekuensi nafas 16 – 24 x/mnt setelah dilakukan tindakan keperawatan/kolaboratif selama 2 jam.
2. Pemasukan cairan 2000 cc dalam 24 jam.
Kriteria Rumusan Tujuan Keperawatan :
1. Berfokus kepada klien. Pernyataan tujuan harus merupakan perilaku klien yang menunjukkan berkurangnya masalah klien. Masalah tersebut telah diidentifikasikan dalam diagnosis keperawatan
2. Jelas dan singkat
3. Dapat diukur dan diobservasi
4. Waktu relatif dibatasi (jangka pendek, menengah dan panjang)
5. Realistik untuk kemampuan/kondisi klien dalam waktu seperti yang ditetapkan
6. Realistik untuk tingkat pengalaman dan ketrampilan perawat
7. Ditentukan bersama oleh perawat dan klien
8. Tujuan harus sejalan dan menyokong terapi lain
Perumusan Kriteria Keberhasilan :
1. Merupakan model atau standar yang digunakan untu membuat keputusan
2. Dinyatakan sebagai hasil, misalnya merupakan perubahan status kesehatan
3. Menentukan apakah tujuan dapat dicapai
4. Menentukan kriteria keberhasilan yang ditentukan, yang mencakup perubahan perilaku, apa yang dilakukan oleh klien dan bagaimana kemampuan klien sebelum mencapai tujuan
Manifestasi terhadap respon manusia : KAPP (Kognitif, Afektif, Psikomotor, dan Perubahan fungsi tubuh) :
1. Kognitif : pengetahuan; berdasarkan pengulangan informasi yang telah diajarkan kepada klien.
2. Affektif : mengetahui bagaimana respon klien dan keluarga terhadap stress yang dihadapi (status emosional)
3. Psikomotor : mengidentifikasi apa yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh klien sebagai hasil dari rencana pengajaran
4. Perubahan fungsi tubuh : sejumlah manifestasi yang dapat diobservasi.
Ciri-ciri Kriteria Keberhasilan :
1. Berhubungan dengan tujuan
2. Bersifat khusus dan konkrit
3. Hasilnya dapat dilihat, didengar, diraba dan diukur oleh orang lain
4. Dinyatakan dengan istilah yang positif.
Contoh:
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama tujuh hari, klien mampumerawat kebersihan diri sendiri tanpa bantuan perawat.
Kriteria :
1. Klien dapat mandi sendiri minimal 1x sehari
2. Klien dapat mengganti pakaian sendiri minimal 1x sehari
3. Mampu berdandan dengan rapi sesuai dengan waktu dan tepat
Formulasi Rumusan Tujuan Keperawatan :
1. Subjek (klien)
2. Perilaku klien yang dapat diamati oleh orang lain
3. Predikat (kondisi)
4. Kriteria keberhasilan.
Petunjuk Umum dalam Menulis Tujuan :
1. Tulislah tujuan dalam istilah yang dapat diukur. Hindari kata-kata : baik, normal, cukup dan perbaikan.
2. Tulislah tujuan dalam istilah `yang dapat dicapai oleh klien`, bukan tindakan keperawatan
3. Tulis tujuan sesingkat mungkin
4. Buat tujuan yang spesifik
5. Setiap tujuan berdasarkan dari satu diagnosis keperawatan
6. Rencanakan batas waktu untuk pencapaian setiap tujuan. Tulis tanggal tujuan dan tanggal evaluasi.
Secara umum : SMART : Specific, Measurable, Achievable, Reality and Time (singkat, jelas, dapat dimengerti, spesifik, dapat diukur, dapat dinilai, realistis, berdasarkan diagnosis keperawatan dan kriteria waktu tertentu).

E. Menentukan Rencana Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan dapat dianggap sebagai suatu instruksi untuk perawat yang merawat klien. Perawat akan meninggalkan instruksi untuk perawat lainnya tentang bagaimana perawatan yang sebaik mungkin dapat diberikan kepada klien-klien tertentu. Instruksi perawatan (nursing oder) adalah suatu bentuk tindakan keperawatan yang menunjukkan perawatan dan pengobatan yang khusus, dimana perawat mempunyai wewenang untuk melakukannya pada satu klien tertentu. Perawatan dan pengobatan dirancang untuk membantu klien mencapai satu atau lebih dari satu tujuan perawatan, sehingga dapat mengurangi masalah klien.
Tipe Instrusi Perawatan :
1. Tipe diagnostik : menilai kemungkinan klien ke arah pencapaian kriteria hasil dengan observasi secara langsung. Ex : kaji rentang gerak ekstremitas atas klien.
2. Tipe terapeutik : menggambaran tindaan yang dilakukan oleh perawat secara langsung untuk mengurangi, memperbaiki, dan mencegah kemungkinan masalah. Ex : Lakukan ROM aktif pada kaki kiri klien.
3. Tipe penyuluhan : digunakan untu meningatkan perawatan diri klien dengan membantu klien memperoleh tingkah laku individu yang mempermudah pemecahan masalah. Ex : ajarkan klien menggunakan walker.
4. Tipe rujukan : menggambarkan peran perawat sebagai koordinator dan manajer perawatan klien dalam anggota tim kesehatan. Ex : kolaborasi dengan fisiotherapi untuk mobilisasi klien.
Rencana Tindakan Keperawatan :
1. Mengidentifikasi alternatif tindakan
2. Menetapkan teknik dan prosedur keperawatan yang akan digunakan
3. Melibatkan klien dalam menyusun rencana tindakan
4. Melibatkan anggota tim kesehatan yang lainnya
5. Mengetahui latar belakang budaya dan agama klien
6. Mempertimbangkan lingkungan, sumber daya dan fasilitas yang tersedia
7. Memperhatikan kebijaksanaan dan peraturan yang berlaku
8. Tindakan keperawatan yang akan dilakukan harus dapat menjamin rasa aman bagi klien
9. Mengarah kepada tujuan yang akan dicapai
10. Tindakan keperawatan yang dilakukan harus bersifat realistis
11. Tindakan keperawatan disusun secara berurutan.
Berdasarkan Diagnosis Keperawatan :
1. Diagnosis keperawatan aktual, intervensi ditujuan untuk :
a. Mengurangi atau membatasi faktor-faktor penyebab dari masalah
b. Meningkatkan status kesehatan klien
c. Memonitor status kesehatan
2. Diagnosis keperawatan resiko tinggi :
a. Mengurangi atau membatasi faktor resiko
b. Mencegah masalah yang akan timbul
c. Memonitor waktu terjadinya
3. Diagnosis keperawatan kolaboratif :
a. Memonitor perubahan status kesehatan
b. Mengelola perubahan status kesehatan terhadap intervensi keperawatan dan medis
c. Mengevaluasi respon.
Kriteria dalam Merencanakan Tindakan :
1. Memakai kata kerja yang tepat
2. Dapat dimodifikasikan
3. Bersifat spesifik : siapa yang melakukan, apa, dimana, kapan, bagaimana dilakukan dan frekuensi melakukannya
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
1. Cek sumber informasi data
2. Harus berupa kalimat instruksi yang ringkas, tegas, tepat dan mudah dimengerti (kata kerja)
3. Dibuat oleh tenaga keperawatan
4. Tertulis jelas dan bahasanya mudah dimengerti
5. Informasi selalu baru
6. Diarsipkan.
Menuliskan Rencana Penilaian Asuhan Keperawatan :
1. Berorientasi pada tujuan yang akan dicapai
2. Harus aman bagi klien
3. Harus sejalan dengan tindakan pengobatan lainnya
4. Didasari prinsip dan pengetahun yang digabungkan dari pendidikan dan pengalaman sebelumnya, pengetahuan tentang sikap/tingah lau dan penyakit fisik
5. Menggunakan standart dan kriteria keberhasilan
6. Menggambarkan kriteria dan standar normal
7. Hasilnya dapat diukur, diraba, didengar dan dilihat (objektif)
8. Dinyatakan dengan istilah yang positif
9. Tulis sekumpulan tindakan perawatan untuk mencapai setiap tujuan
10. Pilih satu kumpulan tindakan perawatan yang kiranya cocok dengan sikap yang disebutkan dalam pernyataan tujuan
11. Realistis
12. Penting bagi peningkatan kesehatan klien
13. Klien sebagai sumber dalam memilih tindakan perawatan.
Secara umum : ONEK (observasi, nursing/keperawatan, edukasi/penyuluhan/pengajaran, dan kolaborasi).

Komponen Model Serta Tren dan Perubahan yang Berdampak Terhadap Dokumentasi Keperawatan

PENDAHULUAN

Peran perawat sebagaimana kita ketahui adalah salah satunya dokumentasi sebagai pertanggungjawaban keperawatan. Akan tatapi akhir-akhir ini tanggungjawab perawat terhadap dokumenasi sudah berubah. Akibatnya, isi dan focus dari dokumentasi telah dimodifikasi. Oleh karena perubahan tersebut, maka perawat perlu menyusun suatu model dokumentasi yang baru, lebih efisien, dan lebih bermakna dalam pencatatan dan penyimpanannya. Komponen yang digunakan mencakup 3 aspek, yaitu : 1). Komunikasi,2). Proses keperawatan, 3). Standar keperawatan.

Kegiatan konsep pendokumentasian meliputi keterampilan berkomunikasi, keterampilan mendokumentasikan proses keperawatan, dan keterampilan standar . Perawat perlu memberikan prioritas terhadap keterampilan diatas. Efektifitas dan fisiensi sangat bermanfaat dalam mengumpulkan informasi yang releva dan akan meningkatkan kualitas pencatatan keperawatan.
















PEMBAHASAN
A. KOMPONEN MODEL DOKUMENTASI KEPERAWATAN
Kegiatan konsep pendokumentasian meliputi :
1.Komunikasi
Kapan saja perawat melihat pencatatan kesehatan, perawat memberi dan menerima pendapat dan pemikiran. Untuk lebih efektif penyaluran ide tersebut, perawat memerlukan keterampilan dalam menuis. Dalam kenyataannya, dengan semakin kompleknya pelayanan keperawatan dan peningkatan kualitas keperawatan, perawat tidak hanya dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan, tetapi dituntu untuk dapat mendokumentasikan secara benar .Keterampilan dokumentasi yang efektif memungkinkan perawat untuk mengkomunikasikan kepada tenaga kesehatan lainnya dan menjelaskan apa yang sudah, sedang, dan yang akan dikerjakan oleh perawat.
Contoh efektifitas pola penulisan komunikasi
1. Dapat digunakan ulang untuk keperluan yang bermanfaat
Sebagai contoh dengan menuliskan kalimat “ keadaan klien tetap” tanpa menambahkan data pengkajian dan evaluasi untuk mendukung keadaan tersebut pada lembar observasi , rencana tindakan adalah tidak mempunyai arti . sebaliknya informasi yang bermakna dengn menuliskan tanda-tada vital . respon klien terhada pngobatan , renana tidakan medis , dan itervnsi keperawatan serta perkembangan keadaan klien sesuai dengan pernyataan tujuan .


2. Mengkomunikasikan kepada tenaga perawat lainnya dan tenaga kesehatan apa yang telah terjadi dan di harapkan terjadi
Pencatatan waktu perubahan keadaan klien , perkembangan atau sebaliknya tentng tujuan dan perencanaan perlu di tuliskan pada format yang khusus .

3. Manfaat dan data pasien yang akurat dapat dicatat.
Pencatatan meliputi data subjektif dan objektif sewaktu klien masuk rumah sakit , masalah , anlisa rencana tindakan , implementasi , observasi , keperluan pemeriksaan .setelah data didokumentasikan , maka perlu suatu perhatian khusus terhadap data tersebut untuk dapatnya didokumentasi dan dievaluasi berdasarkn tujuan dan kriteria hasil . data langsung tentang klien meliputi : apa yang harus di kerjakan kepada klien atau observasi secara langsung , tanda-tanda vital , pernyataan tentang tanda dan gejala yang di rasakan klien , dan perilaku klien . data tidak langsung merujuk pada informasi dari sumber lainnya , misalnya catatan pembedahan , hasil pemeriksaan diagnostik dan laboratorium , konsultasi , laporan dari keluarga , dan informasi lainnya.
4. Penulisan catatan menggambarkan sesuatu yang kreatif
Ide-ide yang kreatif dalam penulisan akan sangat membantu dalam intervensi keperawatan. Rencana tindakan yang meliputi definisi karakteristik individu klien dan pemahaman bahwa setiap klien adalah unik serta mempunyai kebutuhan yang berbeda akan menunjukkan suatu pencatatan yang kreatif. Jika pencatatan dilakukan secara konsisten, maka catatan tersebut harus meliputi : komponen :
1. Riwayat keperawatan (termasuk masalah-masalah yang berakibat pada saat sekarang ataupun yang akan datang).
2. Masalah aktual dan potensial.
3. Perencanaan dan tujuan saat sekarang dan yang akan datang.
4. Pemeriksaan, pengobatan, dan promosi kesehatan untuk membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
5. Evaluasi tujuan keperawatan dan modifikasi rencana tindakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Dokumentasi Proses Keperawatan
Perawat memerlukan keterampilan dalam mencatat proses keperawatan. Pencatatan proses keperawat merupakan metode yang tepat untuk pengambilan keputusan yang sistematis, problem-solving, danriset lebih lanjut. Format proses keperawatan merupakan kerangka atau dasar keputusan dan tindakan termasuk juga pencatatan hasil berfikir dan tindakan keperawatan. Dokumentasi adalah bagian integral proses, bukan sesuatu yang berbeda dari metode problem-solving. Dokumentasi proses keperawatan mencakup pengkajian, identifikasi masalah, Perencanaan, tindakan. Perawat kemudian mengobservasi dan mengevaluasi respon klien terhadap tindakan yang diberikan dan mengkomunikasikan informasi tersebut kepada tnaga kesehatan lainnya. Pengkajian ulang dan evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan dan tindakan medis dapat sebagai petunjuk dan kesinambungan dalam proses keperawatan, dan dapat sebagai petunjuk adanya perubahan dai setiap tahap.
Kekurangan dalam pendokumentasian proses keperawatan meliputi penggunan terminologi dan pencatatan yang tidak standar yang tidak menunjukkan adanya suatu perbedaan tindakan keperawatan yang komplek.
Contoh pendokumentasian proses keperawatan yang efektif :
1. Penggunaan standar terminology (Pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi).
2. Data yang bermanfaat dan relevan dikumpulkan kemudian dicatat sesuai dengan prosedur dalam catatan yang permanent. Data yang masuk dituliskan pada lembar pengkajian klien pada waktu yang khusus, misalnya setiap jam, setiap 4 jam atau setiap 8 jam. Data tersebut meliputi observasi keadaan fisik klien atau emosional, keputusat keperawatan, kegiatan keperawatan mislnya melaksanakan perintah dokter atau kegiatan pembelajaran kepada klien. Tetapi, penulisan tidak hanya pada periode waktu tertentu, tetapi sewaktu-waktu terjadi masalah pada klien khususnya pada waktu yang belum atau tidak direncanakan.
3. Diagnosa keperawatan di susun berdasarkan klasifikasi dn analisa data yang akurat.
4. Rencana tindakan keperawatan ditulis dan dicatat sebagai bagian dari catatan yang permanent.
5. Observasi dicatat secara akurat, lengkap, dan sesuai ukuran waktu
6. Evaluasi dicatat sesuai urutan waktunya, meliputi selama dirawat, dirujuk, pulang, ataupun perubahan keadaan klien.
7. Rencana tindakan keperawatan yang direvisi, berdasarkan hasil yang diharapkan dari klien.
3. Standar Dokumentasi
Perawat memerlukan suatu keterampilan untuk dapat memenuhi standar yang sesuai. “Standard is a measure or model to which similar items should conform”. Standar dokumentasi adalah suatu pernyataan tentang kualitas dan kuantitas dokumentasi yang dipertimbangkan secara adekuat dalam suatu situasi tertentu. Dengan adanya standar dokumentasi memberikan informasi bahwa adanya suatu ukuran terhadap kualitas dokumentasi keperawatan.
Perawat memerlukan suatu standar dokumentasi untuk memperkuat pola pencatatan dan sebagai petunjuk atau pedoman praktik pendokumentasian dalam memberikan tindakan keperawatan. Fakta tentang kemampuan perawat dalam pendokumentasian ditunjukkan pada keterampilan menuliskan sesuai dengan standar dokumentasi yang konsisten, pola yang efektif, lengkap, dan akurat. Di bawah ini adalah contoh penggunaan pola standar dokumentasi yang efektif :
1. Kepatuhan terhadap aturan pendokumentasian yang ditetapkan oleh profesi atau pemerintah. Pencatatan tersebut menyediakan pedoman penggunaan singkatan, tanda tangan, metode jika ada kesalahan, dan peraturan jika data terlambat masuk. Pengukuran keamanan, keperawatan khusus seperti hal –hal yang berhubungan dengan perioperatif, catatan terjadinya kejadian perlukaan klien, dan anjuran dokter harus mencerminkan peraturan dan prosedur pendokumentasian yang berlaku.
2. Standar profesi keperwatan dituliskan ke dalam catatan kesehatan. Data yang ada menjabarkan apa yang dilakukan perawat. Perawat mempunyai kewenangan untuk merumuskan diagnosa keperawatan dan interfensi keperawatan terhadap respon klien terhadap masalah kesehatan klien aktual dan resiko/ potensial. Pencatatan yang ada menunjukkan bahwa perawat mempunyai keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional, mempunyai otoritas, sebagaimana dokter mempunyai otoritas dalam diagnosis dan pengobatan klien.
3. Peraturan tentang Praktik Keperawatan dapat dilihat pada catatan pelayanan kesehatan. Data yang tertulis menunjukkan kegiatan perawat yang independen dan interpenden. Diagnosa keperawatan tidak secara khusus mempunyai izin mendiagnosa masalah medis sebaliknya diagnosa medis tidak terdapat pada catatan keperawatan, tetapi diagnosa keperawatan dituliskan pada catatan keperawatan. Daa yang dituliskan sering meliputi pengobatan dan program dokter, perawatan luka, dan aktivitas. Demikian juga catatan interfensi keperawatan meliputi rencana tindakan keperawatan, pengukuran berkurangnya rasa nyeri, untuk mencegah terjadinya infeksi, atau mengurangi/ mencegah kecemasan klien.
4. Pedoman akreditasi harus diikuti. Penekanan yang khusus pada data tentang kegiatan observasi dan evaluasi. Tahap pada proses keperawatan adalah dituliskannya data setiap klien pada waktu masuk rumah sakit sampai pulang. Data tersebut meliputi keadaan klien, pengobatan, tingkat kesadaran klien, tanda-tanda vital mulai masuk, sampai keluar dari rumah sakit.
Apabila peraturan penulisan pendokumentasian diikuti secara konsisten, catatan kesehatan akan mencakup dokumentasi yang adekuat. Contoh standar dokumentasi meliputi :
• Keputusan pofesional tentang keadaan klien dituliskan secara konsisten sesuai aturan penulisan.
• Semua komponen pada proses keperawatan dicatat secara konsisten.
• Rencana tindakan keperawatan dituliskan selama 24 jam mulai masuk atau ditulis pada kebijksanaan intitusi pelayanan kesehatan.
• Penulisan evaluasi dituliskan tentang respon klien terhadap perkembangan terhadap hasil yang dicapai. Rencana tindakan direvisi berdasarkan perkembangan masalah yang terjadi pada klien.
Contoh standar dokumentasi keperawatan di Indonesia dapat dilihat pada : (1) Standar profesi keperawatan (PPNI); (2) Peraturan praktik keperawatan (Depkes); dan (3) Akreditasi.

B. TUJUAN UTAMA DOKUMENTASI
Sebagai dokumen rahasia yang mencatat semua pelayanan keperawatan klien, catatan tersebut dapat diartikan sebagai suatu catatan bisnis dan hukum yang mempunyai banyak manfaat dan penggunaan. Tujuan utama dari pendokumentasian adalah untuk :
1) Mengidentifikasi status kesehatan klien dalam rangka mencatat kebutuhan klien, merencanakan, melaksanakan tindakan keperawatan. Dan mengevaluasi tindakan.
2) Dokumentasi untuk penelitian, keuangan, hukum, dan etika.

C. TREN DAN PERUBAHAN YANG BERDAMPAK TERHADAP DOKUMENTASI
Trend dan perubahan yang terjadi dalam sistem pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap dokumentasi keperawatan dan masalah-masalah kegiatan pencatatan oleh perawat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Masalah yang timbul perlu diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum penyelesaian masalah yang dapat ditemukan dalam dokumentasi. Masalah-masalah dokumentasi dan perubahan yang mempengaruhi pentingnya pendokumentasian keperawatan adalah sebagai berikut :
1) Praktik Keperawatan
Dengan terjadinya perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, maka peran perawat dalam praktik keperawatan profesional juga mengalami perubahan. Revisi atau perubahan tersebut meliputi penemuan kasus penyakit yang baru, pendidikan kesehatan, konseling, dan intervensi keperawatan dan medis terhadap respon klien aktual atau potensial.
2) Lingkup Praktik Keperawatan
Perubahan dalam lingkup praktik keperawatan, berdampak terhadap pendokumentasian. Dengan berkembangnya lingkup praktik keperawatan berdasarkan tren praktik keperawatan di Indonesia, persyaratan akreditas, peraturan pemerintah, perubahan sistem pendidikan keperawatan, meningkatnya masalah klien yang semakin komplek, serta meningkatnya praktik keperawatan secara mandiri dan kolaborasi.
3) Data Statistik Keperawatan
Pencatatan yang lengkap dan akurat sangat bermanfaat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien, data statistik yang sangat bermanfaat dalam penelitian atau pengembangan pelayanan kesehatan serta penentuan jasa pelayanan
4) Intensitas Pelayanan Keperawatan dan Kondisi Penyakit
Pencatatan yang lengkap dan akurat tentang tingkat keparahan penyakit dan tipe atau jumlah tindakan yang diperlukan sebagai dasar pertimbangan pemberian asuhan keperawatan
5) Keterampilan Keperawatan
Tren meningkatnya justifikasi perawat dalam akurasi perumusan masalah dan tindakan keperawatan pada pendekatan proses keperawatan, terutama perubahan keadaan klien yang cepat akan sangatbermanfaat dalam pencatatan.
6) Konsumsi
Tren dan perubahan penggunaan layanan kesehatan oleh konsumen berpengaruh terhadap pendokumentasian. Waktu rawat inap yang pendek, biaya yang terjangkau, dan adanya home care bagi klien yang tidak memerlukan perawatan maksimal merupakan tren perubahan pelayanan di masa depan. Perubahan tersebut memerlukan suatu pembenahan tentang pencatatan yang lengkap dan akurat khususnya waktu klien masuk rumah sakit, tingkat asuhan keperawatan dan keahlian dalam pemberian pelayanan.
7) Biaya
Tren dan perubahan biaya layanan berdampak terhadap pendokumentasian. Pencatatan yang baik akan memberikan gambaran tentang pengeluaran biaya yang harus ditanggung oleh klien.
8) Kualitas Asuransi dan Audit Keperawatan
Pendokumentasian juga dipengaruhi oleh prosedur kendali mutu, terutama tentang audit catatan pelayanaan kesehatan. Data tantang keadaan klien sebelum masuk RS, pertanyaan dan wawancara dengan klien merupakan sumber utama audit data.
9) Akreditas Kontrol
Perubahan terhadap standar pelayanan kesehatan yang disusun oleh institusi yang berwenang, membawa pengaruh terhadap pendokumentasian. Pada waktu dulu klasifikasi klien hanya didasarkan pada diagnosa medis, pelayanan klinik atau tipe pelayanan. Saat ini dalam keperawatan, klien diklasifikasikan berdasarkan DRG.(Diagnosis Related Group). Sedang informasi tentang daftar kode memberikan gambaran kebutuhan klien, asuhan yang telah diterima harus ada di catatan keperawat.
10) Prospektif Sistem Pembayaran
Tren dan perubahan dalam sistem pembayaran berdampak terhadap dokumentasi. Prospekti pembayaran merujuk pada sistem pembayaran terhadap asuhan keperawatan yang di terima oleh semua klien khususnya pada waktu klien masuk RS.
11) Resiko Tindakan
Ketergantungan terhadap dokumentasi yang komprehensif berarti mengurangi dan mencegah terjadinya faktor resiko manajemen atau pengelolahan. Manajemen Resiko adalah pengukuran keselamatan klien untuk melindungi klien dan profesi keperawatan aspek legal serta melindungi perawat dari tindakan kelalaian. Manajemen resiko ditekankan pada keadaan klien yang mempunyai resiko terjadinya perlukaan atau kecatatan. Pencatatan yang penting meliputi : catatan tentang kejadian, perintah verbal atau non verbal, informet consent, dan catatan penolakan klien terhadap tindakan.

Demam Tifoid

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik terutama pada anak sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler. Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal dan kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, seperti uji TUBEXâ, Typhidot-Mâ dan dipstik mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya di Indonesia.
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit.
Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena
Penyakit typoid merupakan sala satu masalah utama di Indonesia karna penyakit dapat menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin. Resiko pada penyakit ini sangat tinggi sehingga dapat menimbulkan komplikasi seperti perporasi usus, peritonitis, pendarahan. Oleh karena itu diperlukan perawatan yang dan teratur guna mempercepat proses penyembuhan dan mencegah komplikasi dini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul mengenai “ Faktor- factor yang mempengaruhi terjadi demam typoid di Rumah Sakit Haji Makassar “.

C. Batasan Masalah
Pada penelitian ini terbatas pada pengumpulan imformasi secara deskriptif mengenai kasus demam typoid di RSU Haji Makassar, untuk mengetahui factor – factor Demam typoid berdasarkan umur,status gisi dan lingkungan.
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diharapkan mampu melaksanakan penerapan dan pengklasifikasian mengenai factor- factor yang mempengaruhi terjadinya demam typhoid.
2. Tujuan Khusus
• Untuk memperoleh pengalaman dan dapat mengaplikasikan teori yang di dapat dalam bentuk praktek.
• Untuk menganalisa factor – factor yang mempengaruhi terjadinya demam typoid.

E. Manfaat Penulisan
1. Manfaat institusi
Dapat digunakan sebagai bahan bacaan untuk institusi pendidikan Akper Angin Mammiri Propinsi Sulawesi Selatan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan keperawatan di masa yang akan dating.
2. Manfaat Rumah Sakit
Merupakan bahan masukan dan imformasi dalam upaya meningkatkan pelayanan keperawatan di Rumah Sakit, khususnya klien dengan gangguan system pencernaan : Demam Typoid.
3. Manfaat Penulis
Menamba pengethuan dan pengalaman bagi penulis dalam mengklasifikasi ilmu yang telah didapat selama pendidikan.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Umum tentang Demam Typoid
Typoid Abdominalis ( demam typoid, enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran. (Perawatan anak sakit, Ngastiya, 1987, hal. 155).
Etiologi demam typoid adlah salmonella typhi. Sedangkan demam paratipoid typoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis, yaitu S. enteriditis bioseretipe paratypi A, S. enteriditis bioserotipe paratypi B, S.enteritidis bioseretipe paratifi C. Kuman – kuman ini lebih dikenal dengan nama S. paratypi A, S. schottmuelleri, dan S. hirschfeldii.
Penyebab penyakit ini adalah salmonella typosa basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora, mempunyai sekurang – kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (Somatik, terdiri zat kompleks lipopoli sakarida) Antigen H (flagella) dan Antigen Vi (tidak tahan panas yang mengalami reaksi aglusinasi antigen dan antibody O) (Harrison.S, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi III , hal.755)
Demam typoid dan paratipoid endemic di Indonesia. Penyakit ini jarang di temukan secara epidemik, lebih bersifat, sporadis, terpencar suatu daerah, dan jarang terjadih lebih dari satu kasus pada orang – orang serumah. Di Indonesia demam typoid dapat di temukan sepanjang tahun di insidenstertinggi pada daerah endemic terjadi pada anak – anak, orang dewasa yang sering mengalami infeksi ringan, sembuh sendiri, insidensi pada pasien yang umur 12 tahun ke atas 70- 80%. Pasien yang berumur 23 – 12 tahun 10 – 12%, antara 30 – 40 tahun hanya 4 – 5%. Terdapat dua sumber penularan S. Typhi , yaitu pasien dengan dengan demam typoid yang lebih sering, karier. Di daerah endemik, transmisi terjadi melalui air yang ttercemar S. typhy, sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah nonendemik.
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.
B.Tinjauan Umum Tentang Gambaran Klinik Demam Typoid
Demam typoid dan para typoid merupakan infeksi akut usus halus. Kuman Salmonella typosa, masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian besar di musnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limpoid plague ,nyeri di elium terminalis yang mengalami hipertropi di tempat ini mengalami komplikasi perdarahan dan perporasi dapat terjadi kuman salmonella typosa kemudian menembus kelamin propia masuk ke aliran limpa dan mencapai kelenja – kelenjar limpa salmonella tyiposa bersarang di limpa , hati dan bagian lain system rekoloedotellal. Semula di sangka demam dan gejala teksemia pada demam typoid di sebabkan oleh endoteksemia tapi kemudian berdasarkan penelitian eksprerimental disimpulkan bahwa endoteksemia bukan merupakan penyebab utama dan gejala –gejala teksema pada demam typoid karena membantu terjadinya proses imflamasi local pada jaringan tempat salmonella typosa berkembang biak, demam pada typoid di sebabkan karena salmonella typosa dan entoksinya merangsang system pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang ( prof. Dr. H. M. Sjaifoellah Noer , Ilmu Penyakit Dalam , Jilid 1, Edisi Ketiga , 1996 )
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.
Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.3 Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%). dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
• uji Widal
• tes TUBEX®
• metode enzyme immunoassay (EIA)
• metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan
• pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.

TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.24 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.
C . Tinjauan Umum Tentang Faktor – factor Resiko Demam Typoid
Typoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada keadaan iklim , tetapi lebih banyak di jumpai di Negara – negara sedang berkembang di daerah tropis , hal ini di sebabkan karena penyediaan air bersih , sanitasi lingkungan , kebersihan individu kurang baik , dan derajat kekebalan tubuh .
BAB III
METODE PENILITIAN
A. Jenis Penilitian
Jenis Penilitian yang digunakan adalah survey deskriptif. Dengan jenis penilitian dimaksuskan untuk menggambarkan fakto-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya Demam Tyfoid menurut umur, makanan, dan lingkungan.
B, Populasi dan Sampel
1. Populasi
Semua status yang menderita demam typoid dan dirawat inap di RSU HAJI Makassar, dan terdaftar atau tercatat di rekam medic.
2. Sampel
Semua status yang menderita demam typoid yang dirawat inap RSU HAJI Makassar,
C.Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder yang berasal dari status pasien anak balita yang tersimpan di rekam medic RSU HAJI, Makassar,

D.Pengolahan dan Penyajian Data
Pengolahan data dilakukan secara sederhana dan manual dengan menggunakan kalkulator kemudian disajikan dalam bentuk table disertai penjelasan.

ISPA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsure kesejahteraan umum. Hal ini selas digariskan dalam UU RI no. 23 tahun 1992 pasal 3.
Untuk dapat mewujudkan hal tersebut telah disusun pokok-pokok program pembangunan kesehatan yang salah satunya mencakup program penyakit menular dan imunisasi. Pelaksanaan program penyakit infeksi saluran pernafasan akut adalah bagian bagi pembangunan kesehatan dan merupakan upaya yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit menular.
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi saluran pernafasan yang secara anatomi dibedakan menjadi Ispa atas dan Ispa bawah. Program P2-ISPA yang diklasifikasikan ISPA sebagai pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia merupakan bentuk ISPA bawah, dijumpai sekitar 15-20% dari seluruh ISPA.
Menurut WHO, ISPA utamanya pneumonia adalah penyebab utama kematian anak balita di Dunia yang mengakibatkan kematian lebih dari 2 juta anak setiap tahunnya. Hingga 40% anak yang berobat ketempat pelayanan kesehatan menderita ISPA dan beberapa kematian berhubungan dengan penyebab lain, pada dasarnya adalah “ kematian akibat ISPA yang tersembunyi”.
Dirjen pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan (PPM dan PL) Depkes dan Kessos : Umar Fahmi Hacmadi pernah menuturkan bahwa infeksi saluran pernafasan akut merupakan pembubuh utama kematian bayi serta balita di Indonesia. Dikemukakan bahwa sebagian besar kematian dipicuh oleh ISPA bagian bawah (Pneumonia), tapi masyarakat masih awam dengan gangguan kesehatan ini.
Data SKRT 1992 menunjukkan bahwa 25,2% kematian bayi dan 18,2% kematian balita disebabkan oleh ISPA. Pneumonia sebagai penyebab kematian nomor satu pada bayi yaitu sebesar 29,3% dan penyebab kematian nomor dua pada balita yaitu sebesar 15,3%. Data mortalitas SKRT 1995 menunjukkan 20,9% kematian bayi disebabkan pneumonia dan merupakan penyebab kematian nomor 2 sedangkan pada anak balita merupakan penyebab kematian nomor satu yaitu sebesar 21,9%.
Menerur survey kesehatan nasional tahun 2001, penyakit pernafasan masih merupakan penyebab kematian tertinggi pada anak di bawah usia 5 tahun di mana sebagain besar disebabkan oleh pneumonia. Dirjen PPM dan PL memperkirakan kematian akibat pneumonia sebanyak 5 kasus diantara 1000 bayi/balita.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa ISPA masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dimana angka kejadian dan kematian ini masih tinggi sehingga dibuatlah rumusan penilitian untuk mengetahui bagaimana distribusi ISPA pada balita khususnya yang pernah di rawat inap di RSUP. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO Makassar.
C. Batasan Masalah
Pada penelitian ini terbatas pada pengumpulan informasi secara deskriptif mengenai kasus ISPA pada balita di RSUP. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO Makassar. Untuk mengetahui gambaran distribusi ISPA berdasarkan umur, jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi dan social ekonomi keluarga.


D. Tujuan Penelitian
• Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita ISPA pada anak balita yang dirawat inap di RSUP. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO Makassar.
• Tujuan Khusus
Untuk mengetahui distribusi ISPA pada anak balita menurut umur, jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi dan social ekonomi keluarga.
E. Manfaat Penelitian
• Sebagai bahan masukan bagi pengelolah peningkatan pelayanan kesehatan bagi anak balita khususnya RSUP. Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO Makassar.
• Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Prov. SUL-SEL dalam rangka penentuan kebijaksanaan dalam usaha menurunkan angka kejadian ISPA pada anak balita pada masa yang akan dating.
• Bagi penulis, sebagai salah satu untuk meningkatkan pengetahuan dan pengembangan diri bagi penulis.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang ISPA
Istilah ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut, istilah ini diadaptasi dari istilah Bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsure yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut :
(i) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit
(ii) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah, dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup seluruh pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jarinagn paru-paru) dan organ aadneksa saluran pernafasan.
(iii) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari di ambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab antara lain dari genus Stafilakokkus, Streptokokkus, Pneumokokkus, Hemofilus, Bordetella dan Korinobakterium. Virus penyebab antara lain golongan miksovirus, adenovirus, pikonovirus, mikoplasma dan herpes virus.
Berdasarkan lokasi anatomic, diklasifikasikan menjadi ISPA bagianb atas dan ISPA bagian bawah. ISPA bagian atas adalah infeksi akut yang menyerang hidung sampai epiglottis dengan organ dengan organ adneksanya, misalnya rhinitis akut, faringitis akut saluran pernafasan mulai bagian bawah epiglottis sampai alveoli paru, misalnya trakeitis, bronchitis akut, bronkiolitis, pneumonia dan sebagainya.
Menurut para ahli hampir semua kematian akibat ISPA pada anak-anak umumnya adalah ISPA bawah dan hampir semuanya adalah pneumonia. Walupun demikian tidak seluruh ISPA bahwa merupakan penyakit yang serius, contohnya bronchitis secara relative sering dan jarang sekali bersifat fatal. Sedangkan ISPA atas jarang menimbulkan kematian walaupun insidennya jauh lebih tinggi dari pada ISPA bawah.
ISPA dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan balita di Negara berkembang. Sebagian besar hasil penelitian di Negara berkembang. Sebagai besar hasil penelitian di Negara berkembang menujukkan bahwa 20-35% kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA. Diperkirakan bahwa 2-5 juta bayi dan anak balita di berbagai Negara setiap tahun nanti karena ISPA. Dua pertiga dari kematian ini terjadi pada kelompok usia bayi, terutama bayi usia 2 bulan pertama sejak kelahiran.
B. Tinjauan Umum Tentang Gambaran Klinik ISPA
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) bagian atas adalah infeksi akut yang menyerang hidung sampai epiglottis dengan organ adneksanya, misalnya rhinitis akut, faringitis akut, sinusitis akut dan sebagainya. Sedangkan ISPA bagian bawah adalah Infeksi akut saluran penafasan mulai bagian bawah epiglottis sampai alveoli paru, misalnya trakeitis, bronchitis akut, bronkiolitis, pneumonia dan sebagainya.
ISPA bagian atas seperti faringitis akut memberikan gejala-gejala awal berupa demam, malaise, dan anoreksia dengan nyeri tenggorokan. Faringitis akut adalah infeksi akut laring, termasuk tonsillitis dan faringotonsilitis. Keterlibatan faring merupakan bagian dari sebagian besar infeksi saluran pernafasan atas dan juga ditemukan dengan berbagai infeksi menyeluruh akut. Namun pada batas-batas tertentu, faringitis akut menunjuk pada keadaan di mana keterlibatan utama adalah pada tenggorok. Nyeri tenggorokan dapat ada pada mulanya, tetapi yang lebih lazim nyerii mulai timbul sehari setelah gejala-gejala awal muncul. Suara parau, batuk, dan rhinitis juga biasa dijumpai. Pada sepertiga penderita ditemukan pembesaran tonsil, eksudasi, dan eritema faring. Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi awal, dan limfonodi sering nyeri. Demam dapat berlanjut selama 1-4 hari, pada kasus yang amat berat anak dapat tetap sakit selama 2 minggu. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan kemerahan difusi pada tonsil dan dinding penyenggah tonsil, dengan bintik-bintik petekhie palatum lunak, dapat juga ditemukan adanya limfadentis atau eksudasi folikuler. Muncul Suara parau, batuk, dan rhinitis juga biasa dijumpai.
C. Klasifikasi Penyakit ISPA
Menurut Rasmaliah (2004), Penyakit ISPA terbagi dalam 2 golongan yaitu:
1. Peneumonia (Infeksi saluran pernafasan bawah)
2. Bukan Pneumonia (Infeksi saluran pernafasan atas)
Pneumonia ialah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur, dan benda asing. Pneumonia di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik tiba-tiba sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis sekira hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit, mungkin terdapat bantuk setelah beberapa hari, mula-mula kering kemudian menjadi pruduktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnois dengan pemeriksaan fisik, tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung, dan sianosis sekitar mulut dan hidung, harus dipikirkan kemungkinan pneumonia. Pada perkusi thoraks sering tidak ditemukan kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengan ronkhi basah nyaring halis atau sedang.
Infeksi saluran pernafasan bawah adalah nama lain dari pneumonia. Terdiri dari beberapa macam yaitu:
a. Pneumonia Viral
Pneumonia yang disebabkan virus biasanya di tandai oleh batuk-batuk kering. Keluhan yang lain sering mengganggu adalah sakit kepala, sakit di otot-otot atau sendi dan kadang-kadang pilek. Pneumonia viral potensial berbahaya oleh karena dapat menyebabkan kegagalan pernafasan serta mungkin terdapat gangguan jangka panjang pada saluran nafas sesudah sembuh.
b. Pneumonia Bakterialis
Pneumonia Bakteririalis adalah suatu peradangan parenkhim paru dengan eksudasi dan konsolidasi, disebabkan oleh mikroorganisme. Ditinjau dari jenis bakteri yang menjadi penyebab infeksi pasien, pneumonia bakterialis terbagi atas 2 macam yaitu :
1. Pneumonia sebab kuman gram positif
Kuman gram positif penyebab pneumonia yaitu : bakteri pneumokokus, dan bakteri stafilakokus.
2. Pneumonia sebab kuman gram negative
Kuman gram positif penyebab pneumonia yaitu : bakteri klebsiela, bakteri hemofilus influenza, dan bakteri pseudomonas ( Sarwono Waspadji, 1990).

Infeksi saluran pernafasan atas digolongkan kedalam penyakit bukan pneumonia (Lidianti, 2007), yang terdiri antara lain :
a. Rhinitis
Rhinitis dapat disebabkan oleh bakteri ataupun virus, tapi lebih banyak rhinitis dikarenakan adanya suatu alergin yang kemudian dapat di ikuti dengan bakteri atau rhinitis allergy atau pilek adalah gejala alergi yang terjadi pada bagian hidung. Umumnya timbul penyakit inii pada musim penghujan karena cuaca dingin.
b. Faringitis
Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang tenggorok atau faring. Kadang juga disebut sebagai radang tenggorok. Infeksi saluruan nafas atas akut seperti faringitis merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering dijumpai. Radang ini bias disebabkan oleh viris atau kuman, disebabkan daya tahan yang lemah. Dan penyebab tersering adalah virus sehingga pengobatan antibiotic tidak diperlukan.

D. Tinjauan Umum Tentang Faktor-Faktor Resiko ISPA
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai Negara termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah dilaporkan berbagai factor resiko baik yang meningkatkan kejadian maupun kematian akibat ISPA, diantaranya umur < 2 tahun, laki-laki, gizi kurang, berat badan lahir rendah, imunisasi yang tidak memadai, tingkat sosio ekonomi rendah:
1. Umur
Dari hasil 3 kali SDKI (tahun 1991,1994,1997) menunjukkan pergeseran prevalensi yang paling tinggi kearah kelompok umur yang lebih mudah. Hasil analisis factor reiko membuktikan factor usia merupakan salah satu factor resiko untuk terjadinya kematian pada balita yang sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia semakin kecil resiko meninggal dibandingkan balita yang berusia muda, hal ini dikaitkan dengan system imunnya yang belum terbentuk sempurna.
Criteria Objektif : umur penderita pada saat masuk rumah sakit yang tercantum dalam status penderita, dikelompokkan ke dalam kelompok umur < 1 tahun dan 1-5 tahun.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki merupakan salah satu factor yang meningkatkan insifden dan kematian akibat ISPA. Bila dihubungkan dengan status gizi, sesuai dengan status gizi, sesuai dengan analisa data Susenas 1998 yang meyatakan bahwa secara umum status gizi balita perempuan lebih baik dibanding balita laki-laki. Perbedaan prevalensi tersebut belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah karena factor genetika, perbedaan dalam hal perawatan dan pemberian makanan atau yang lainnya. Sehingga kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Criteria objektif : Dibagi atas kategori perempuan dan laki-laki sesuai yang tercantum dalam status penderita.
3. Status Gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai factor yang penting untuk ISPA. Tinjauan kepustakaan yang pernah dilaporkan oleh Martin (1987) membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru sehingga anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan tubuh untuk memproduksi antibody. Dengan demikian tingkat imunitas pada anak yang mengalami gangguan gizi akan rendah.
Criteria objektif : Gizi Buruk : < 60% median BB/umur
Gizi Kurang : 60%-69,% median BB/umur
Gizi Sedang : 70%- 79,9% median BB/umur
Gizi Baik : 80%-120% median BB/umur
Gizi Lebih : > 120 % median BB/umur

4. Status Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit untuk meningkatkan kuyalitas hidup. Dari ,ke empat jenis program imunisasi nasional, yaitu BCG, DPT, Polio dan campak, penyakit infeksi saluran pernafasan akut dapat dicegah dengan imunisasi yaitu campak, pertusis, difteri dan tuberculosis anak. Pada analisa SDKI 1994 diperoleh bahwa kasus kesakitan yang tertinggi pada balita yang mendapat lengkap, tidak lengkap dan atau tidak pernah mendapat imunisasi adalah kasus ISPA dan paling di dapatkan pada kelompok yang tidak lengkap imunisasi yaitu kelengkapan imunissasi juga mempengaruhi berat ringannya ,kesakitan atau komplikasi yang mungkin terjadi.
5. Berat badan lahir
Masalah bayi dengan berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gr) sangat penting diperhatikan karena sangat erat berkaitan dengan kelangsungan hidup bayi tersebut selanjutnya. Bayi berat lahir rendah akan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas bayi karena rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi infeksi saluran pernafasan, gangguan belajar, masalah prilaku dan lain sebagainya.
Criteria objektif : Berat badan lahir rendah : < 2500 gram
Berat badan lahir normal : 2500-4000 gram
Berat badan lahir lebih : > 4000 gram
6. Sosio ekonomi
Kondisi social ekonomi keluarga merupakan factor penyebab tidak langsung yang merupakan factor penunjang timbulnya masalah status gizi kurang. Kondisi sosio ekonomi yang rendah menyebabkan daya beli masyarakat rehadap bahan makanan maupun untuk membayar pelayanan kesehatan menjadi menurun.
Kritetia objektif : dikelompokkan sesuai dengan pekerjaan yang tercantum dalam status penderita.



BAB III
METODE PENILITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan adalah survey deskriptif. Dengan jenis penelitian dimaksudkan untuk menggambarkan distribusi penderita ISPA pada anak balita menurut umur, jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi dan sosio ekonomi keluarga.
B, Populasi dan Sampel
1. Populasi
Semua status yang menderita ISPA dan dirawat inap di RSUP Dr.WAHIDIN SUDIROHUSODO Makassar, dan terdaftar atau tercatat di rekam medic.
2. Sampel
Semua status balita penderita ISPA yang dirawat inap RSUP Dr.WAHIDIN SUDIROHUSODO Makassar,
C. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder yang berasal dari status pasien anak balita yang tersimpan di rekam medic RSUP Dr.WAHIDIN SUDIROHUSODO Makassar,

D.Pengolahan dan Penyajian Data
Pengolahan data dilakukan secara sederhana dan manual dengan menggunakan kalkulator kemudian disajikan dalam bentuk table disertai penjelasan.